11 MARET HILANG MELENGGANG
49 tahun lalu telah terjadi
peristiwa besar, yaitu peralihan kekuasaan dari sang Presiden Soekarno kepada
Letjen Soeharto. Peristiwa yang di kenal sebagai tragedi Surat Perintah 11 Maret yang disingkat menjadi Supersemar
adalah surat perintah yang
ditandatangani oleh Presiden
Republik Indonesia Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966.
Surat ini berisi perintah yang menginstruksikan Soeharto, selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan
Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu
untuk mengatasi situasi keamanan yang buruk pada saat itu.
Namun kontroversi akan kebenaran surat ini masih
menjadi keraguan bagi masyarakat Indonesia. Pasalnya menurut beberapa ahli
sejarawan, banyak versi dari surat ini dan yang sering kita lihat dalam buku
sejarah adalah versi dari Markas Besar Angkatan Darat.
Awal kemunculan Supersemar terjadi ketika pada tanggal
11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan sidang pelantikan Kabinet Dwikora
yang disempurnakan dan dikenal dengan nama "kabinet 100 menteri".
Pada saat sidang dimulai, Brigadir Jendral Sabur sebagai panglima pasukan
pengawal presiden Tjakrabirawa melaporkan bahwa banyak "pasukan liar"
atau "pasukan tak dikenal". Belakangan diketahui bahwa itu adalah
Pasukan Kostrad dibawah pimpinan Mayor Jendral Kemal Idris yang bertugas
menahan orang-orang yang berada di Kabinet yang diduga terlibat G-30-S. Di antaranya
adalah Wakil Perdana Menteri I Soebandrio.
Berdasarkan laporan tersebut, Presiden bersama Wakil
perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh
berangkat ke Bogor. Sementara Sidang akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana
Menteri II Dr.J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Situasi ini dilaporkan kepada Mayor Jendral Soeharto
(yang kemudian menjadi Presiden menggantikan Soekarno) yang pada saat itu
selaku Panglima Angkatan Darat menggantikan Letnan Jendral Ahmad Yani yang
gugur akibat peristiwa G-30-S/PKI itu. Mayor Jendral (Mayjend) Soeharto saat
itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. (Sebagian kalangan menilai
ketidakhadiran Soeharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai sekenario
Soeharto untuk menunggu situasi. Sebab dianggap sebagai sebuah kejanggalan).
Mayor Jendral Soeharto mengutus tiga orang perwira
tinggi (AD) ke Bogor untuk menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor yakni
Brigadir Jendral M. Jusuf, Brigadir Jendral Amirmachmud dan Brigadir Jendral
Basuki Rahmat. Setibanya di Istana Bogor, pada malam hari, terjadi pembicaraan
antara tiga perwira tinggi AD dengan Presiden Soekarno mengenai situasi yang
terjadi dan ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Mayjend Soeharto mampu
mengendalikan situasi dan memulihkan keamanan bila diberikan surat tugas atau
surat kuasa yang memberikan kewenangan kepadanya untuk mengambil tindakan.
Menurut Jendral (purn) M Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Soekarno hingga
pukul 20.30 malam.
Presiden Soekarno setuju untuk itu dan dibuatlah surat
perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dikenal
sebagai Supersemar yang ditujukan kepada Mayjend Soeharto selaku panglima
Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan
dan ketertiban.
Surat Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal
12 Maret 1966 pukul 01.00 waktu setempat yang dibawa oleh Sekretaris Markas
Besar AD Brigjen Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, dimana
saat itu ia menerima telpon dari Mayjend Sutjipto, Ketua G-5 KOTI, 11 Maret
1966 sekitar pukul 10 malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran
PKI disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah
Pangkopkamtib yang dijabat oleh Mayjend Soeharto. Bahkan Sudharmono sempat
berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar
itu tiba.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional untuk
mendapatkan kejelasan mengenai surat ini. Bahkan, Arsip Nasional telah
berkali-kali meminta kepada Jendral (Purn) M. Jusuf, yang merupakan saksi
terakhir hingga akhir hayatnya 8 September 2004, agar bersedia menjelaskan apa
yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Lembaga ini juga sempat meminta
bantuan Muladi yang ketika itu menjabat Mensesneg, Jusuf Kalla, dan M. Saelan,
bahkan meminta DPR untuk memanggil M. Jusuf. Sampai sekarang, usaha Arsip
Nasional itu tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya, adalah mantan presiden
Soeharto. Namun dengan wafatnya mantan Presiden Soeharto pada 27 Januari 2008,
membuat sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap.
Dengan kesimpangsiuran Supersemar itu, kalangan
sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa peristiwa G-30-S/PKI dan
Supersemar adalah salah satu dari sekian sejarah Indonesia yang masih gelap.
Komentar
Posting Komentar