Mengenang Peranan Ulama Pekalongan dalam Pertempuran 3 Oktober 1945
Monumen Perjuangan Pekalongan dan Foto Kh. Syafi’i (Ulama Pejuang Pekalongan)
“Perang memang usai
sejak 17 Agustus 1945 dan di katakan Indonesia merdeka, namun perlawanan masih
berlanjut dari setiap daerah kala itu, sebab Jepang belum sepenuhnya mundur,
tutur Lukman”
17 Agustus 1945 adalah
Kemerdekaan Indonesia, namun banyak beberapa wilayah yang benar-benar merasakan
kemerdekaan tersebut. Sebab di wilayah-wilayah masih dikuasai oleh para tentara
Jepang, di antaranya Pekalongan.
Menyikapi hal demikian,
pada tanggal 21 Agustus 1945 para pemimpin bentukan Jepang di masa itu,
melakukan perundingan dengan tuan Tokonami Tokogi agar tentara Jepang mundur
dari Pekalongan dan menyerahkan kekuasaan sepenuhnya kepada NKRI. Namun
pertemuan itu tidak membuahkan hasil, sebab Jepang tetap bertahan dan masih
menduduki wilayah Pekalongan.
Kenudian barulah pada tanggal 18
September 1945 Presiden Soekarno melantik
Residen Pekalongan yang pertama yaitu Mr. Besar. Jabatan Residen ini merupakan
jabatan fungsionaris tertinggi yang semula hanya dipegang oleh orang Jepang.
Pada tanggal 27 September Jepang telah menyerahkan kekuasaan kepada Mr. Besar.
Akan tetapi, tidak sepenuhnya
tentara Jepang menyerahkan kekuasaan Pekalongan kepada Mr. Besar hingga memicu
reaksi dari rakyat Pekalongan khususnya para ulama dan santri. Oleh karena itu
Mr. Besar melakukan berbagai pendekatan kepada Jepang dalam
upaya pemindahan kekuasaan dengan menggandeng 3 kekuatan moral yaitu KNID yang
dipimpin oleh Dr. Sumbadji, BPKKP yang dipimpin oleh Dr. Ma’as, Angkatan Muda
yang dipimpin oleh Mumpuni dan Margono Jenggot. Akhirnya pihak
Jepang mau berunding dengan para wakil masyarakt Pekalongan pada tanggal 1
Oktober 1945 pukul 10.00. Namun karena suatu hal, perundingan diundur sampai
tanggal 3 Oktober 1945 pukul 10.00 di gedung Kempeitai.
Dari sinilah tragedi besar yaitu 3
Oktober 1945 di Pekalongan berawal. Peranan ulama dan
santri begitu kental dalam perjuangan kemerdekaan, terlebih persiapan pertempuran
3 Oktober 1945 di Pekalongan yang di gelorakan oleh para ulama dan satri begitu
mendarah daging sebab menantikan kemerdekaan.
Menanggapi berita
tersebut, tokoh pemuda muslim bersama tentara Hisbullah dan tentara Sabilillah mulai
melakukan rencana dan bersiap dengan kemungkinan yang ada (bertempur dengan
tentara Jepang). Dari selatan dipimpin KH. Syafi’i sedangkan dari Utara di
pimpin KH. Syiroj dan KH. Yusuf. Mereka bergerak dari subuh demi mengambil
kekuasaan sebab Jepang tidak mau menyerahkan Pekalongan secara baik-baik kepada
pemerintah Indonesia. Semua bergerak menuju Welmina Park/ Kebon Rojo (THR).
Sesuai dengan kebiasaan
ala kaum pesantren, sebelum melakukan pertempuran, pasukan santri melaksanakan
doa bersama yang di pimpin oleh para Kyai dan Ulama di masa itu. Tempat
berkumpul awal di wilayah selatan (pertigaan Podo) dan bergerak ke utara
(pertigaan Bendo), sehingga dulu di kedua pertigaan tersebut di bangun tugu
peringatan yang sering disebut tugu Garuda.
Hingga waktu
perundingan di mulai semua pasukan rakyat berjaga di sekeliling Kempetai dan
menunggu hasil perundingan. Hingga akhirnya terdengar etusan senapan yang
memicu rakyat semakin geram dan terjadilah pertempuran besar tersebut. Banyak
jatuh korban dalam pertempuran 3 oktober 1945. Namun setidaknya dapat menjadi
pemicu semangat juang warga Pekalongan khususnya dan rakyat NKRI pada umumnya.
Sehingga setelah
pertempuran 3 Oktober di Pekalongan, banyak gerakan rakyat di daerah-daerah
untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang hingga memunculkan pertempuran 5
hari di Semarang, pertempuran Bandung lautan api dan pertempuran-pertempuran
lain yang ada di Nusantara.
Komentar
Posting Komentar