TOKOH PEKALONGAN (Mengenal Sosok Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas)
Bagi warga Pekalongan, ketokohan ulama yang satu ini, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas tidak diragukan lagi. Bukan hanya karena ilmu agama beliau yang mumpuni, tetapi juga diiringi dengan perilaku dan kerendahan hati beliau yang sangat terpuji dalam menyebarkan agama Islam, serta tegas dan kukuh memerangi kemungkaran. Tidak mengherankan, meski beliau telah wafat, namun semerbak ilmu yang diamalkan tidak pernah hilang, tetapi justru terus berkembang hingga kini.
Habib Ahmad bin Abdullah Al-Attas dilahirkan di kota Hajren,
Hadramaut, Yaman, pada tahun 1255 Hijriah. Setelah menguasai Al-Quran dan
mendalami dasar-dasar ilmu agama, beliau melanjutkan menuntut ilmu kepada para
pakar dan ulama terkenal lainnya.
Kecerdasan, ketekunan dan keinginan beliau untuk terus
belajar layakya tidak akan berhenti. Beliaupun melangkah menimba ilmu yang
lebih banyak lagi di Makkah dan Madinah. Sekalipun mendapatkan tempaan ilmu
dari berbagai ulama di dua kota suci itu, namun guru yang paling utama dan
paling besar pengaruh didikan dan asuhannya atas pribadi beliau adalah As-Sayid
Ahmad Zaini Dahlan. Yang terakhir ini adalah seorang pakar ulama di Makkah yang
memiliki banyak murid dan santri, baik dari Makkah sendiri maupun negara-negara
Islam lainnya. Termasuk para tokoh ulama dan kyai dari Indonesia, seperti Hadratul
Fadlil Mbah KH Kholil Bangkalan Madura dan Hadhratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari
Jombang, pendiri NU dan kakek mantan presiden Abdurrahman Wahid, KH Murtadha,
tokoh ulama Betawi akhir abad 19.
Di antara murid atau orang yang seangkatan Ahmad Zaini
Dahlan di Makkah adalah Imam Nawawi Al-Bantani, seorang pemukim (mukimin)
Indonesia di Makkah mengarang kitab-kitab kuning, seperti Tafsir Munir yang
bukan saja dijadikan acuan di Indonesia tapi juga di hampir semua dunia Islam.
Setelah usai dan lulus menempuh pendidikan dan latihan,
terutama latihan kerohaniaan secara mendalam, Habib Ahmad ditugaskan oleh guru besarnya untuk berdakwah
dan mengajar di Makkah. Di kota kelahiran Nabi ini, beliau dicintai dan
dihormati segala lapisan masyarakat karena berusaha meneladani kehidupan
Rasulullah.
Tujuh tahun
mengajar di Makkah, Habib Ahmad kemudian kembali ke Hadramaut. Kemudian beliau merasa terpanggil untuk berdakwah ke Indonesia bersama para imigran yang sengaja
untuk berdagang di Indonesia.
Setibanya di Indonesia, beliau kemudian ke Pekalongan. Melihat keadaan kota itu
yang dinilai masih membutuhkan dukungan penyiaran Islam, maka tergeraklah hati
beliau untuk menetap di kota tersebut. Saat pertama menginjakkan kaki di kota Pekalongan, beliau melaksanakan tugas sebagai Imam di masjid Wakaf
yang terletak di kampung Arab (sekarang Jl. Surabaya). Kemudian beliau
membangun dan memperluas masjid tersebut.
Di samping menjadi imam, di masjid, Habib Ahmad juga mengajar membaca Al-Quran dan kitab-kitab
Islam, serta memakmurkan masjid dengan bacaan maulid Diba’, Barzanji, wirid dan
hizib di waktu-waktu tertentu. Beliau juga dikenal sebagai seorang hafidz
(penghafal Al-Quran).
Melihat suasana pendidikan agama pada waktu itu yang sangat sederhana, maka Habib Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah yang letaknya berseberangan dengan masjid Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah Salafiyah pada waktu itu, hingga menghasilkan banyak ulama. Madrasah yang didirikan lebih dari satu abad ini, menurut Habib Abdullah Bagir, merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern yang kemudian berkembang pesat di kota-kota lain.
Melihat suasana pendidikan agama pada waktu itu yang sangat sederhana, maka Habib Ahmad tergerak untuk mendirikan Madrasah Salafiyah yang letaknya berseberangan dengan masjid Wakaf. Begitu pesatnya kemajuan Madrasah Salafiyah pada waktu itu, hingga menghasilkan banyak ulama. Madrasah yang didirikan lebih dari satu abad ini, menurut Habib Abdullah Bagir, merupakan perintis sekolah-sekolah Islam modern yang kemudian berkembang pesat di kota-kota lain.
Menurut sejumlah orang tua di kota Pekalongan, berdasarkan
penuturan ayah atau mereka yang hidup pada masa Habib Ahmad, beliau selalu
tampil dengan rendah hati (tawadlu’), suka bergaul dan marah bila dikultuskan.
Kendati demikian, menurut cicit beliau, Habib Abdullah
Bagir, “Beliau tidak dapat mentolerir terhadap hukum-hukum Allah atau melihat
orang yang meremehkan soal agama, seperti menegakkan amal ma’ruf nahi munkar”.
Menurut Habib Bagir, kakeknya ibarat khalifah Umar bin
Khattab yang tegas menentang setiap melihat kemungkaran, tidak peduli yang
melakukannya itu orang awam atau pejabat tinggi. Sebagai contoh, para wanita tidak akan berani lalu lalang di
depan kediaman beliau tanpa mengenakan kerudung atau tutup kepala. Pernah
seorang istri residen Pekalongan dimarahi karena berpapasan dengan beliau tanpa
menggunakan tutup kepala.
Keberanian beliau dalam menindak yang mungkar itu rupanya
diketahui oleh sejumlah sahabatnya di Hadramaut. “Saya kagum dengan Ahmad bin
Thalib Al-Attas yang dapat menjalankan syari’at Islam di negeri asing, negeri
jajahan lagi”, kata Habib Ahmad bin Hasan Al-Attas, seorang ulama dari
Hadramaut.
Habib Ahmad yang kegiatan sehari-hari lebih banyak di Masjid
Wakaf Jl. Surabaya, pada akhir hayatnya mengalami patah tulang pada pangkal
paha akibat jatuh hingga tidak dapat berjalan. Sejak itu, beliau mengalihkan
kegiatannya di kediamannya termasuk shalat berjamaah dan pengajian.
Sakit tersebut berlanjut hingga beliau wafat pada malam Ahad, 24 Rajab 1347 H atau 1928 M, dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di pemakaman Sapuro, Kota Pekalongan. Bak pepatah gajah mati meninggalkan gading, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas tak pernah surut didoakan oleh ribuan para peziarah, karena amal perbuatan yang dilakukan selama beliau hidup sangat mulia, di buktikan dengan peringatan haul beliau diselenggarakan pada setiap tanggal 14 Sya’ban, bersamaan dengan malam Nisfu Sya’ban.
Sakit tersebut berlanjut hingga beliau wafat pada malam Ahad, 24 Rajab 1347 H atau 1928 M, dalam usia 92 tahun dan dimakamkan di pemakaman Sapuro, Kota Pekalongan. Bak pepatah gajah mati meninggalkan gading, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas tak pernah surut didoakan oleh ribuan para peziarah, karena amal perbuatan yang dilakukan selama beliau hidup sangat mulia, di buktikan dengan peringatan haul beliau diselenggarakan pada setiap tanggal 14 Sya’ban, bersamaan dengan malam Nisfu Sya’ban.
Ketika beliau wafat, hampir seluruh penduduk kota Pekalongan
dan sekitarnya mengantarkan jenazah beliau ke tempat peristirahatan terakhir.
“Belum pernah di kota Pekalongan terdapat pengantar jenazah seperti ketika
wafatnya Habib Ahmad”, tutur Habib Alwi Al-Attas, 70, salah seorang kerabat
beliau.
Karena itulah, setiap haul beliau dihadiri oleh ulama
terkemuka, termasuk almarhum KH. Abdullah Syafi’i dan kini dilanjutkan oleh
putranya KH. Abdul Rasyid AS, serta KH. Abdurrahman Nawi dari Jakarta, dan para
tokoh ulama lainnya.
Komentar
Posting Komentar